Home » Jaringan Masyarakat Sipil Sulsel Nilai RKUHP Rawan Diskriminasi
Konferensi pers jaringan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel), Selasa (22/11/2022). IDN Times/Ashrawi Muin

Jaringan Masyarakat Sipil Sulsel Nilai RKUHP Rawan Diskriminasi

by LBH APIK SULSEL

Jaringan Masyarakat Sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengkritik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan pemerintah pusat dalam waktu dekat. Pasalnya, sejumlah ketentuan dinilai diskriminatif pada kelompok rentan.

Inisiator Jaringan Masyarakat Sipil Sulsel, Rosmiati Sain, mengatakan bahwa ada dua isu besar yang harus digaungkan dalam RKUHP. Pertama terkait living law atau pengaturan tentang hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat). Kemudian, isu stigma dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan.

“Yang tentunya ketika misalnya RKUHP ini disahkan secara tergesa-gesa akan banyak terjadi persoalan dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan yang ada di belahan Indonesia termasuk di Sulsel,” kata Rosmiati Sain, saat kegiatan media briefing terkait kaum marjinal di LokaLin Cafe, Makassar, Selasa (22/11/2022).

1. Kelompok rentan kerap mendapat perlakuan diskriminatif

Inisiator jaringan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel), Rosmiati Sain. IDN Times/Ashrawi Muin

Inisiator jaringan masyarakat sipil di Sulawesi Selatan (Sulsel), Rosmiati Sain. IDN Times/Ashrawi Muin

Masalah hukum adat itu diatur dalam Pasal 2 dan 599 RKUHP versi 9 November 2022. Kemudian ada juga ketentuan pidana mati, pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas, penodaan agama, kebebasan berekspresi serta sederet pasal terkait kelompok rentan lainnya.

Menurut Ros, ketentuan pasal tersebut membuka celah penerapan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Tanpa ketentuan itu saja, kelompok rentan kerap mengalami kekerasan dan kriminalisasi terlebih lagi jika disahkan.

Kelompok rentan yang dimaksud antara lain yakni penyandang difabel, kelompok minoritas agama dan minoritas seksual (LGBT), buruh, perempuan dan anak, ODHA (orang dengan HIV/AIDS) serta masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.

“Otomatis mereka akan mengalami ancaman dan banyak kekerasan yang dialami oleh mereka sehingga isu-isu kelompok rentan ini sebenarnya harus dibunyikan,” kata Ros.

2. RKUHP dinilai melemahkan hukum adat

Ilustrasi Rumah Adat (Irian) (IDN Times/Mardya Shakti)

Ilustrasi Rumah Adat (Irian) (IDN Times/Mardya Shakti)

RKUHP berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan karena tidak jelasnya standar dan batasan terkait apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini, diyakini semakin membuka ruang bagi aparat untuk menafsirkan dan mengambil tindakan sewenang-wenang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.

“Selain itu, dapat melegitimasi diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok rentan karena pengaturannya diambil dari kebijakan ditingkat lokal semisal Perda ataupun Perdes,” kata Ros.

Di samping itu, kata dia, RKUHP juga disebut justru melemahkan hukum adat dan fungsi lembaga adat dalam penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat. Sebab, penyelesaian masalah masyarakat adat akan menjadi kewenangan negara.

“Juga dapat menghilangkan sifat hukum adat yang dinamis, dan dapat menciptakan dualisme antara hukum adat yang berhasil dicatatkan dan hukum adat yang tidak tertulis namun tetap hidup di tengah masyarakat adat,” katanya.

3. Sejumlah aturan diskriminatif pernah berlaku di Sulsel

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Dalam konteks Sulawesi Selatan sejak tahun 2003 terdapat beberapa Perda diskriminatif yang bernuansa keagamaan. Sebut saja Peraturan Desa Muslim Padang, Kecamatan Gantarang, Bulukumba Nomor 05 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.

Kemudian, Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 5 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah juga diusulkan dibatalkan. Lalu, Perda Kabupaten Enrekang Nomor 6/2005 tentang Busana Muslim dan Perda Kabupaten Maros Nomor 16/2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

Secara total, lanjut Ros, peraturan yang dianggap diskriminatif di Sulsel berjumlah 15 buah. Sekalipun Perda dan Perdes ini sudah tidak lagi diberlakukan tetapi ada kekhawatiran akan dihidupkan kembali dan didukung oleh kebijakan di tingkat nasional.

“Seperti dalam RKUHP khususnya pasal 2, sehingga masyarakat ataupun kelompok rentan kembali akan mengalami kekerasan, diskriminasi, kriminalisasi ataupun persekusi,” katanya.

 

 

Sumber:  sulsel.idntimes.com

 

Related Articles