Home » Kata Kuasa Hukum Korban tentang Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur
Ilustrasi kekerasan seksual (Pixabay)

Kata Kuasa Hukum Korban tentang Dugaan Kekerasan Seksual di Luwu Timur

by admin

Dugaan kasus kekerasan seksual yang menimpa tiga anak di Luwu Timur, kembali mencuat ke publik. Kasus itu menjadi sorotan karena Polres Luwu Timur telah menghentikan penyelidikan. Kuasa hukum korban dan pelapor angkat bicara.

Kasus tersebut terjadi pada tahun 2019 dan resmi didampingi oleh LBH Makassar dan LBH Apik Sulawesi Selatan sebagai kuasa hukum korban pada tanggal 23 Desember 2019. Ibu korban dan tim kuasa hukum telah melaporkan kasus tersebut ke Polres Luwu Timur, dengan terlapor adalah ayah kandung ketiga anak tersebut.

Namun di tengah jalan polisi menghentikan penyelidikan tersebut pada 14 April 2020. Dalam surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum, polisi menyebut tidak menemukan minimal 2 alat bukti untuk melanjutkan penyelidikan.

Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir dalam keterangannya menjelasakan, tim kuasa hukum sejak lama sudah protes terkait penghentian penyelidikan perkara tersebut karena dianggap menyalahi beberapa prsedur.

Pelanggaran pertama, kata Haedir, saat proses pengambilan keterangan 3 korban, ibu korban dilarang untuk mendampingi. Proses tersebut juga tidak didampingi oleh pekerja sosial atau pendampingan hukum.

“Itu jelas menyalahi ketentuan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23. Keterangan korban jelas tidak bisa tergali dan terjelaskan utuh dalan berita acara,” ujar Haedir.

Dasar penghentian penyelidikan adalah dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur dan asesmen Puspaga Lutim. Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan Terlapor selaku ayahnya.

Kuasa hukum menduga hasil asesmen P2TP2A tidak akurat karena ada konflik kepentingan antara petugas dan terlapor.

“Dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan. Salah satunya Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor,” ujar Haedir.

LBH Makassar menyimpulkan bahwa proses penyelidikan tidak berpihak pada korban karena polisi sempat melakukan pemeriksaan kejiwaan pada ibu korban yang menjadi pelapor. Pemeriksaan itu dilakukan tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu pada korban maupun pada tim kuasa hukum.

Tim kuasa hukum juga menyebut bahwa pelapor memiliki bukti foto-foto bekas tindak kekerasan pada alat vital para korban. Berdasarkan surat rujukan dari Puskesmas Malili, kata Haedir, disebutkan bahwa ada tanda-tanda kerusakan pada alat vital korban.

“Kami sudah mengirim surat keberatan pada Mabes Polri sejak 6 Juli 202, tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Kami minta Kapolri turun tangan dengan membuka kembali penyelidikan dan mengambil alih perkara tersebut,” pungkas Haedir.

(Januardi Husin\Editor)

Sumber:  law-justice.co

Related Articles